Kamis, 29 Mei 2014

Changhua – Chiayi – Penghu : Sebersit Kekecewaan Dibalik Kenangan Tak Terlupakan (Hari Ke-2)

Tidak ada sesuatu yang istimewa di balik jendela di luar sana. Saya mengintip keluar melalui celah sempit di antara tirai semata karena ingin mengetahui keadaan cuaca hari ini. Di sebuah penginapan kecil namun nyaman di Chiayi, saya bertanya-tanya di dalam hati kenangan seperti apakah gerangan yang akan saya peroleh dari perjalanan ke Penghu selama 2 hari ke depan. Seluruh wilayah pulau Formosa telah siap untuk menyambut kedatangan musim panas, namun di Taiwan bagian tengah ini, saya merasakan udara pagi yang jauh lebih nyaman menyelimuti saya. Menikmati langit yang cerah namun masih dengan cahaya matahari yang bersahabat, udara yang hangat namun tidak sepanas dan selembab udara Taipei, membuat saya sepenuh hati berharap agar cuaca Penghu pun seindah cuaca Chiayi pagi ini.
            
Waktu menunjukkan pukul 7 pagi dan saya merasa takjub dengan betapa masih sunyinya gang kecil di depan penginapan ini. Semakin jauh saya berjalan meninggalkan pintu penginapan menuju ke arah jalan raya, suasana kota yang sibuk pun mulai semakin terasa. Spontan saya pun teringat akan sebersit kekecewaan yang saya rasakan semalam saat sedang berjalan-jalan di kota Chiayi. Chiayi memiliki suasana kota yang serupa dengan Changhua dimana nuansa tradisional berbaur dengan modernitas. Berjalan sepanjang jalan perkotaan di Changhua pada siang hari dan menyusuri keramaian jalan di Chiayi pada malam hari menimbulkan sebuah penyesalan karena saya tidak memiliki waktu yang lebih panjang untuk menjelajah kedua tempat ini. Saya pun menyadari bahwa waktu yang singkat ini pun akan segera berlalu seiring dengan langkah kaki saya yang semakin mendekati Stasiun Kereta Chiayi, dimana saya akan bertemu dengan kawan-kawan yang lain untuk melanjutkan perjalanan ke Penghu.

            
Saat ini adalah ketiga kalinya saya bertemu dengan mereka berdua. Si gemuk yang memenuhi kursi depan di samping pengemudi merupakan kawan yang paling saya kenal dibanding yang lain. Sementara itu, rekan yang duduk di sebelah kiri saya tampak menyenangkan namun pendiam, entah karena dia memang tidak suka terlalu banyak berbicara atau karena dia dengan segera tertidur setelah masuk ke dalam taksi. Saya tidak dapat memusatkan pikiran saya sepanjang perjalanan  selama 50 menit dari Stasiun Kereta Chiayi ke Pelabuhan Budai dimana kami akan menaiki kapal feri menuju Penghu. Rekan yang gemuk itu dengan pengemudi taksi wanita kami mulai mengobrol tanpa henti dengan menggunakan campuran bahasa Mandarin dan Taiwan Hokkien sehingga membutuhkan usaha yang tidak sedikit bagi saya untuk dapat memahami percakapan mereka. Setelah menyerah untuk berusaha mengikuti percakapan mereka, saya mencoba untuk memusatkan perhatian saya kepada pemandangan di luar, namun sebagian besar yang terlihat adalah tanah lapang sepi yang mengelilingi kami. Tidak ada satu hal pun yang dapat membantu mengusir kekhawatiran saya. Saya khawatir tentang seberapa baik saya dapat sekaligus menjalin hubungan dengan enam kawan baru, yang empat lainnya baru akan saya temui di Pelabuhan Budai. Saya juga khawatir apakah misi kami akan tercapai dalam 2 hari ke depan atau tidak karena hal tersebutlah yang menentukan apakah uang untuk biaya perjalanan ini terbuang percuma atau tidak. Namun, kekhawatiran pertama saya tampaknya langsung lenyap segera setelah kami tiba di Pelabuhan Budai, membayar NTD 800 untuk biaya taksi, dan menemui kawan-kawan yang lain. Mereka terihat sangat ramah sehingga saya merasa optimis tidak akan kesulitan untuk bergaul dengan mereka. Di samping itu, pada dasarnya kami semua berada disini untuk satu tujuan yang sama. 

Pelabuhan Budai di Chiayi
Saat menunggu waktu keberangkatan kapal selepas membayar tiket seharga NTD 900 untuk satu kali perjalanan, saya melepaskan pandangan sekilas ke arah kawan-kawan baru saya dan berusaha memahami mengapa rekan-rekan dalam kelompok ini, termasuk saya, merasa sangat antusias dalam merencanakan perjalanan ini dengan harapan dapat menemui satu orang saja, meskipun hanya sesaat. Pria gemuk yang sebelumnya berbagi taksi dengan saya merupakan penggemar dari orang tersebut selama 17 tahun. Kenyataan bahwa dia tanpa ragu-ragu menyambut saya dalam kelompok ini karena memiliki minat yang sama, meskipun sebelumnya hanya saling mengenal di internet, menunjukkan seberapa besar dukungan yang diberikannya untuk orang tersebut. Pria yang tampak menyenangkan namun pendiam merupakan penggemar selama 16 tahun sebelum akhirnya menyadari bahwa ibunya adalah teman sekolah menengah pertama dari orang tersebut. Selembar foto usang dari buku angkatan sekolah lengkap dengan tanda tangan orang tersebut sekarang telah menjadi salah satu harta karunnya. Ada juga seorang ibu bersama putrinya yang sama-sama bergabung dalam kelompok ini sehingga terkadang membuat saya berpikir seperti apa perasaan suami (atau ayah) mereka. Seorang ibu yang lain mengaku bahwa putrinya tidak pernah dapat memahami mengapa dia bergabung dalam kelompok ini, namun dari ekspresi wajahnya saya dapat melihat dengan jelas betapa gembira dan bersemangatnya ia. Bagaimanapun juga, dia adalah penggemar yang menonton film yang sama sebanyak lebih dari 15 kali untuk menunjukkan dukungannya terhadap orang tersebut sebagai produser, sutradara, sekaligus pemeran utama pria. Kawan yang terakhir adalah seorang wanita muda yang pada satu waktu pernah berkata pada saya bahwa suara dari orang tersebutlah yang telah memikatnya sampai saat ini. Sayang sekali, sesampainya disini, lamunan saya harus terputus ketika semua orang mulai beranjak menuju pintu keberangkatan. Feri menuju Penghu yang hendak kami tumpangi siap untuk berlayar!

Pemandangan Selat Taiwan dari Jendela Kapal Feri
Saya mengawali perjalanan feri dengan rasa takjub saat menyadari bahwa seorang ibu yang telah menonton film yang sama sebanyak lebih dari 15 kali itu ternyata masih memiliki cara lain yang sederhana namun mengagumkan untuk menunjukkan dukungannya sebagai penggemar. Dia membawa selembar kain putih, sebuah jarum, benang, gunting, dan beberapa bola styrofoam. Menyadari ekspresi penasaran di wajah saya, dia pun bertanya apakah saya tahu alasan dia membawa barang-barang tersebut. Ketika melihat bahwa saya tidak tahu bagaimana harus menjawab, dia pun mulai menjelaskan bahwa dia akan membuat 8 buah boneka anti hujan, satu untuk masing-masing orang, dan kami akan memberikan semuanya kepada orang yang kami harap dapat kami jumpai di Penghu sebagai sebuah bentuk dukungan. Dengan membawa boneka-boneka anti hujan ini, kami berharap agar cuaca Penghu yang hampir selalu hujan sepanjang minggu itu, akan berganti menjadi cerah sehingga tidak lagi menghambat kemajuan proses syuting. Sayangnya, setelah mendengarkan penjelasan tersebut, saya tidak punya pilihan lain selain berusaha untuk memejamkan mata sepanjang sisa perjalanan selama 1.5 jam karena saya merasakan mabuk laut yang hebat! 

Kapal Feri Kami Mendekati Pelabuhan Magong
Pelabuhan Magong
Pengemudi yang juga merupakan pemandu wisata kami adalah seorang pria tinggi kurus dengan wajah ceria dan ekspresi yang spontan. Saya teringat masa-masa sebelum saya pindah ke Taiwan, ketika saya masih berusaha untuk mencari tahu karakter dari orang-orang Taiwan dan bagaimana saya harus bersosialisasi dengan mereka tanpa menimbulkan masalah perbedaan budaya. Saya menemukan sebagian besar orang mengatakan bahwa masyarakat Taiwan jarang menggunakan cara-cara langsung untuk menyampaikan maksud mereka. Ketika akhirnya saya menginjakkan kaki di Taiwan, kesan pertama saya terhadap masyarakat Taiwan adalah bahwa mereka sangat ramah dan luar biasa sopan. Oleh karena itu, saya pun percaya bahwa dengan alasan tidak ingin menyinggung perasaan orang lain, mereka akan lebih memilih menggunakan cara-cara tidak langsung untuk mengungkapkan maksud mereka. Melirik kembali ke arah pemandu wisata kami, saya pun mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi percaya begitu saja dengan teori mengenai karakter suatu masyarakat tertentu sebelum memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan mereka. Pemandu wisata tersebut adalah orang yang sangat spontan dan dalam waktu singkat tidak segan-segan melemparkan guyonan yang terbilang sensitif begitu kami berada di dalam mobilnya. Memang bagaimanapun juga akan selalu ada berbagai karakter orang di manapun kita berada.

Setelah menikmati makan siang sederhana pertama di Penghu, kami dengan segera menuju ke tujuan paling pertama dan utama, yaitu lokasi syuting yang pada hari itu berada di sebuah tempat bernama dermaga Chikan di kota Baisha. Di dermaga Chikan, kami bertemu dengan kawan-kawan dari kelompok Hongkong yang telah tiba di lokasi sehari sebelum kami. Waktu menunjukkan pukul 2 siang dan mereka mengatakan bahwa kami mungkin harus menunggu hingga sekitar pukul 3 saat para kru film beristirahat supaya dapat menemui pria yang kami cari. Ketika seorang kawan dengan bersemangat menunjukkan boneka anti hujan kami kepada mereka, saya melihat ke sekeliling dan merasa puas karena beberapa boneka anti hujan ini terbukti memiliki kekuatan untuk menghalau hujan yang telah menghantui Penghu sepanjang minggu.

Satu Hari yang Cerah di Dermaga Chikan
Pantai di Dermaga Chikan
Pemandangan Selat Taiwan dari Dermaga Chikan
Sekitar pukul 3 sore, akhirnya kami melihat pria itu keluar dari rumah pantai sederhana yang khusus dibangun untuk lokasi syuting dan berjalan ke arah kami. Kulitnya terlihat lebih hitam dibandingkan dengan saat terakhir kali saya bertemu dengannya, namun senyum yang ramah itu sama sekali tidak berubah. Mengenakan busana kasual berupa celana pendek coklat dan kaos putih, wajahnya sedikit tersembunyi di balik bayangan yang dibentuk oleh topi koboi coklat yang dipakainya. Sembari sibuk menerima hadiah boneka anti hujan dari kami satu persatu, dia mengatakan betapa dia sangat menghargai kedatangan dan dukungan kami, namun tidak ingin kami berada disana sepanjang hari di bawah terik matahari hanya untuk menunggunya. Melanjutkan dengan suara yang tulus, dengan lembut dia meminta kami supaya memanfaatkan waktu kami disini untuk berwisata sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkan kami dan dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya. Melihat dan mendengarkan suaranya secara langsung, berapa kalipun hal ini pernah terjadi sebelumnya, membuat saya terpukau dan berdiri diam disana tanpa melakukan apapun. Tampaknya sementara saya membeku disana, seluruh kawan saya telah memberikan boneka anti hujan mereka kepadanya. Melihat boneka anti hujan yang masih tergenggam di tangan saya, pria ramah itu tersenyum dan mengambil inisiatif untuk berkata, “Itu untuk saya bukan?” Pertanyaan pendek ini, diajukan oleh seorang pria yang telah menciptakan rekor penjualan album musik tak terpecahkan di Asia dengan menjual sebanyak 26 juta kopi hanya dari satu album, adalah satu hal yang membuat seluruh perjalanan ini berharga dan tak terlupakan!
            
Tidak ingin menambah beban untuk proses syuting, kami pun tidak mempunyai pilihan lain selain meninggalkan pesona cantik dari dermaga Chikan. Saat jam tangan menunjukkan sekitar pukul 4.30 sore, kami memutuskan untuk mengunjungi Penghu Trans-Ocean Bridge, sebuah jembatan yang menghubungkan pulau Baisha dengan pulau Xiyu, sebelum menuju ke Hotel Pescadores, satu-satunya hotel bintang lima di Penghu dimana aktor kami menginap, untuk melakukan check-in dan beristirahat. Malam harinya, kami menikmati hidangan makanan laut segar dan singgah di Xiying Rainbow Bridge untuk menutup satu hari yang sempurna di Penghu! 

Penghu Trans-Ocean Bridge
Pemandangan di Penghu Trans-Ocean Bridge
Hotel Pescadores
Yindi’an, Restoran Makanan Laut Segar dengan Harga Terjangkau
Xiying Rainbow Bridge

Kamis, 22 Mei 2014

Changhua – Chiayi – Penghu : Sebersit Kekecewaan Dibalik Kenangan Tak Terlupakan (Hari Ke-1)

Waktu tidak lama berselang sejak saat pertama kali saya menerima kabar bahwa penyanyi Taiwan idola saya akan berada di Penghu selama bulan Mei untuk syuting film terbaru hingga saat saya memutuskan untuk bergabung dalam tur 2 hari ke Penghu bersama rekan-rekan dengan minat yang sama. Saya, suami saya, beserta enam orang kawan lainnya akan menempuh perjalanan yang biasa kita sebut dengan perjalanan ‘mengejar bintang’. Kegembiraan saya memuncak hingga menyingkirkan seluruh kekhawatiran tentang besarnya biaya yang harus dikeluarkan sepanjang perjalanan. Meskipun saya masih membawa tas ransel di punggung, namun saya memesan kamar di hotel bintang lima, menyewa mobil van beserta sopir yang sebagian besar waktu kami anggap sebagai pemandu wisata, dan memesan makanan tanpa melihat harga terlebih dahulu. Usaha kecil saya untuk menghemat biaya dengan memilih naik kereta biasa dibandingkan kereta THSR (Taiwan High-Speed Rail) dari Taipei menuju Chiayi gagal total. Kami akan berkumpul di Stasiun Kereta Chiayi pada pukul 8 pagi dan tidak mungkin kereta biasa dari Taipei dapat tiba di Chiayi pada waktu yang sedemikian pagi. Oleh karena itu, saya harus berangkat sehari sebelumnya dan bermalam di Chiayi yang berarti membutuhkan anggaran lebih untuk biaya penginapan. Dengan semangat untuk menjadikan perjalanan kali ini penuh dengan pengalaman baru, tidak membelanjakan uang dengan sia-sia tanpa melakukan hal yang berarti, saya pun memutuskan untuk singgah sejenak di Changhua, Kota Bambu bersejarah, sebelum melanjutkan perjalanan ke Chiayi.

Tiket Kereta ke Changhua di atas Ransel Murah Saya
Selamat Datang di Changhua
Changhua memiliki peran yang penting dalam sejarah Taiwan karena perannya sebagai markas bagi Han (salah satu suku etnis Cina) pada saat mereka melakukan invasi ke Taiwan dan mempertahankan diri dari suku aborigin Taiwan. Untuk menjalankan fungsi tersebut, dibangunlah sebuah benteng yang terbuat dari bambu, sehingga tempat ini juga dijuluki sebagai Kota Bambu. Karena saya akan tiba pada sekitar pukul 3.30 sore dan masih harus melanjutkan perjalanan ke Chiayi pada hari yang sama, rencana saya adalah untuk melakukan kunjungan singkat ke obyek wisata paling ternama di Changhua, Baguashan Giant Buddha Scenic Area. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa perjalanan singkat ini berubah menjadi penuh lika-liku, saat-saat kebahagiaan yang diikuti dengan ketergesa-gesaan, kesedihan yang digantikan dengan harapan, dan kegembiraan yang dilengkapi dengan kejutan di luar perkiraan.

Perjalanan menuju ke Baguashan Giant Buddha Scenic Area dari Stasiun Kereta Changhua terbilang cukup mudah, hanya perlu naik bis dengan nomor 6933 atau 6912 dari Terminal Bis Changhua yang berjarak 5 menit perjalanan kaki dari stasiun kereta. Kunci untuk tetap membuat perjalanan ini mudah adalah dengan memperhatikan arah perjalanan bis, pastikan bis yang kita naiki menuju halte Lugang dan bukan sebaliknya, seperti yang saya lakukan! Mungkin tiba di Changhua, kampung halaman dari penyanyi idola saya kepada siapa perjalanan ini didedikasikan, telah membuat saya terlalu bersemangat sehingga tidak memperhatikan detil. Mungkin juga cuaca panas bulan Mei menyebabkan pikiran saya tidak jernih dan terlalu berharap untuk dapat segera melepas penat dalam kesejukan pendingin udara bis. Saya tidak tahu faktor yang mana, atau mungkin memang kombinasi dari kedua faktor tersebut, yang telah mendorong saya untuk menaiki bis yang salah.

Memperhatikan sekitar melalui kaca jendela bis, saya dapat merasakan suasana sebuah kota yang memiliki sejarah panjang. Berbagai toko dengan sentuhan modern dan merek baru berhimpitan dengan aneka kedai makanan tua dan tradisional di kedua sisi jalan kecil yang sibuk. Merupakan hal yang tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa beberapa kedai makanan di sepanjang jalan ini sudah memiliki sejarah lebih dari 50 tahun dan tetap bertahan dikarenakan kelezatan dan keunikan rasanya. Dua kedai yang paling terkenal saat ini adalah Bakso Beimenkou, yang tidak dapat saya coba meski seberapa lezat pun rasanya karena saya tidak diperbolehkan makan daging babi, dan Susu Pepaya Dawang, yang sayangnya juga harus saya lewatkan karena keterbatasan waktu. Kedua kedai tersebut dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki dari Stasiun Kereta Changhua.

Sembari menikmati kesejukan pendingin udara di dalam bis, rupanya saya juga sempat menikmati ritme yang lambat dari kehidupan di kota ini. Orang-orang berjalan perlahan, bis bagaikan berada dalam sebuah adegan gerak lambat saat perlahan-lahan melewati satu persatu lampu merah di persimpangan jalan, dan setiap lampu merah seolah tidak akan pernah berubah warna menjadi hijau! Namun, tidak membutuhkan waktu lama bagi saya untuk mulai kehilangan kesabaran, melirik jam tangan, dan mulai memaki adegan gerak lambat yang menyelimuti saya. Empat halte bis telah berlalu dan saya masih tidak melihat nama dari halte tujuan saya muncul di layar monitor di dalam bis. Waktu menunjukkan pukul 4.30 sore saat saya menyadari sesuatu telah berjalan dengan salah dan memutuskan untuk beranjak turun dari bis.
           
Saya menyeberang jalan dengan tergesa untuk menemukan bis menuju ke arah sebaliknya. Tidak satu pun bis melintas setelah saya menunggu dalam diam di halte selama sekitar 15 menit. Rupanya saya masih diselimuti adegan gerak lambat, sebuah jalan raya lebar dengan hanya sejumlah kecil mobil dan motor melintas, lampu merah yang seolah tidak pernah berganti warna yang saya yakin bersalah karena menahan bis yang hendak saya naiki di suatu tempat nun jauh di sana, dan tidak ada taksi! Sebenarnya bukan secara harfiah tidak ada taksi, namun sejak saat saya memutuskan untuk menggunakan apapun alat transportasi yang tersedia termasuk taksi, tiga atau empat taksi tak berpenumpang melintas di hadapan saya tanpa sedikit pun niat untuk berhenti tidak peduli seberapa kuat saya melambaikan tangan memohon agar mereka berhenti. Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat saya hampir mulai menangis karena memikirkan bahwa kunjungan ke Changhua kali ini bakal berlalu sia-sia. Saat saya mulai sungguh-sungguh mempertimbangkan untuk kembali ke stasiun kereta agar tidak tertinggal kereta menuju ke Chiayi, sebuah taksi berhenti dan mengantarkan kami ke Baguashan.

Gerbang menuju Baguashan Giant Buddha Scenic Area
Jalan Setapak menuju Patung Buddha Raksasa
Berbagai Patung Dewa sepanjang Jalan Setapak menuju Patung Buddha Raksasa
Patung Buddha Raksasa
Patung Singa di depan Buddha Raksasa
Kuil Buddha Raksasa di belakang Patung Buddha Raksasa
Kuil Buddha Raksasa
Ukiran Naga di depan Kuil
Patung Gajah di depan Kuil
Taman Baguashan
Kolam Ikan Mungil di dalam Taman Baguashan
Pagoda Bagua
Baguashan Giant Buddha Scenic Area merupakan tempat yang wajib dikunjungi. Patung Buddha Raksasa yang memukau, Kuil Buddha Raksasa yang megah, dan sepasang Pagoda Bagua yang dibangun di sebuah kawasan cantik Baguashan dengan segera menyingkirkan kesedihan saya dan menggantinya dengan kegembiraan. Meskipun saya hanya memiliki waktu sekitar 45 menit untuk berkeliling seluruh kawasan, saya merasa teramat puas, terlebih karena berhasil menyelesaikan misi untuk berfoto dengan menirukan pose artis.

Sumber Gambar di sebelah Kiri: weibo.com/richiefirework
Pada sekitar pukul 6 sore, saya mulai berjalan kaki menuju Stasiun Kereta Changhua untuk melanjutkan perjalanan kereta menuju Chiayi yang akan berangkat dalam setengah jam ke depan. Benar sekali, saya berjalan kaki, bukan naik bis atau taksi, dan ternyata perjalanan tersebut hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 30 menit! Jadi, untuk mengkoreksi pernyataan saya sebelumnya, cara termudah untuk menuju Baguashan Giant Buddha Scenic Area dari Stasiun Kereta Changhua bukan dengan naik bis nomor 6933 atau 6912 dari Terminal Bis Changhua, melainkan cukup dengan berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit. Bukan hanya tidak perlu membuang-buang waktu untuk menunggu bis dan lampu merah yang seolah tiada akhir, namun bisa jadi kita juga dapat menemukan sesuatu yang menarik sepanjang perjalanan, misalnya sebuah Kuil Konfusius tertua di Taiwan.

Kuil Konfusius Tertua di Taiwan
Setibanya di Chiayi pada malam hari, kami langsung menuju ke penginapan yang hanya berjarak 15 menit perjalanan kaki dari Stasiun Kereta Chiayi. Pemilik penginapan adalah sepasang suami istri yang sangat ramah dalam menyambut dan memberikan rekomendasi yang berguna tentang hal-hal yang bisa dilakukan dalam kurun waktu yang sangat singkat selama kami berada di Chiayi. Mengikuti rekomendasi mereka, kami pun memutuskan untuk melewatkan malam di Chiayi dengan mengunjungi Pasar Malam Guanguang di Jalan Wenhua dan memuaskan selera makan kami dengan Nasi Ayam Air Mancur dan Es Kembang Tahu sebelum beristirahat dan bersiap untuk perjalanan Penghu yang sesungguhnya.

Tiket Kereta ke Chiayi
Persimpangan Jalan Wenhua di dekat Nasi Ayam Air Mancur
Berjalan Menyusuri Pasar Malam Guanguang di Chiayi

Senin, 12 Mei 2014

Bitan Scenic Area : Kejutan Kecil dari Sebuah Perjalanan Biasa

Tidak seperti kawasan wisata lain yang pada umumnya saya kunjungi secara sengaja dengan perencanaan terlebih dahulu, kunjungan pertama saya ke Bitan dapat dikatakan hanya sebuah kebetulan. Pada saat saya naik MRT jalur merah (Tamsui-Xindian) dalam rencana perjalanan menuju Wulai, saya menemukan bahwa tepat di depan stasiun MRT Xindian juga terdapat sebuah kawasan cantik bernama Bitan. Satu minggu setelah perjalanan ke Wulai, rasa penasaran membawa saya kembali ke Xindian, kali ini dengan tujuan untuk menikmati perjalanan di kawasan Bitan Scenic Area.
           
Warna kehijauan dari air sungai Xindian berpadu dengan pemandangan bukit hijau sepanjang sisi sungai menciptakan panorama alam yang menyejukkan mata. Selain berjalan santai maupun naik sepeda di sepanjang tepi sungai, kita juga dapat melakukan berbagai akitivitas air seperti memancing, naik kano, naik perahu kayuh, bahkan berenang. Tertarik untuk mengunjungi obyek wisata budaya atau melakukan pendakian? Berbagai kuil dan jalur pendakian tersedia di sekitar kawasan ini dan dapat dengan mudah ditemukan dengan mengikuti papan petunjuk arah yang tersedia. Memandang pantulan cahaya lampu di air sungai sembari menikmati makan malam romantis merupakan penutup yang sempurna dari satu hari perjalanan di Bitan.

             
Meskipun kegiatan rekreasi yang ditawarkan oleh Bitan Scenic Area tidak jauh berbeda apabila dibandingkan dengan taman tepi sungai lainnya, namun keindahan pemandangan di kawasan ini dapat dipastikan akan meninggalkan kesan yang mendalam. Merasa tidak banyak hal tentang Bitan yang dapat diceritakan? Maka biarkan gambar yang berbicara!










Senin, 05 Mei 2014

National Chiang Kai-Sek Memorial Hall: Sejarah, Arsitektur, Seni, Rekreasi

Chiang Kai-Sek (1887-1975) adalah seorang tokoh politik dan militer Cina yang menjadi pemimpin Republic of China (Taiwan) pada periode 1928-1975. National Chiang Kai-Shek Memorial Hall, terletak di distrik Zhongzheng, Taipei, merupakan sebuah monumen yang dibangun untuk mengenang beliau dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata ternama di Taiwan. Tujuan wisata ini dapat dengan mudah dicapai melalui MRT sampai ke stasiun Chiang Kai-Shek Memorial Hall. Di tempat ini, kamu dapat memperluas pengetahuan mengenai sepenggal sejarah Taiwan melalui berbagai museum yang berada di dalam memorial hall dan merasakan suasana yang serius dan penuh hormat pada saat upacara pergantian penjaga yang diselenggarakan setiap jam.

Patung Perunggu Chiang Kai-Shek
Upacara Pergantian Penjaga
Sumber inspirasi dari desain Chiang Kai-Shek Memorial Hall berasal dari arsitektur empat bangunan ternama di dunia, yaitu Lincoln Memorial Hall di Amerika Serikat, Taj Mahal di India, Temple of Heaven di Cina, dan Piramida di Mesir. Jumlah anak tangga yang menuju ke gerbang utama monumen adalah 89, angka yang sama dengan usia Chiang Kai-Shek pada saat meninggal dunia. Aula utama yang terletak di lantai 4, tempat dimana patung perunggu dari Chiang Kai-Shek berada, memiliki desain langit-langit yang spesial dengan simbol bendera negara berupa matahari putih yang memancarkan dua belas cahaya terukir disana. Atap monumen berbentuk segi delapan dengan bagian paling ujung membentuk karakter mandarin yang berarti manusia. Keseluruhan gambaran dari atap monumen dengan latar belakang langit biru merupakan sebuah simbol dari persatuan antara manusia dengan Tuhan.

National Chiang Kai-Shek Memorial Hall
Simbol bendera negara di langit-langit monumen
Mengunjungi monumen ini tidak hanya akan memberikan kita kesempatan untuk memperdalam pengetahuan tentang sejarah dan arsitektur, namun juga merasakan keindahan seni melalui beraneka ragam pameran seni yang digelar di galeri monumen ataupun di National Theater dan National Concert Hall. Melangkah keluar dari memorial hall, kita akan menemukan Fredoom Square dengan berbagai kelompok yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, seperti pelajar yang sedang berlatih tari jalanan, anggota yayasan amal yang sedang mempromosikan kegiatan amalnya, dan sekelompok orang tua beserta anak-anaknya ataupun sepasang kekasih yang sedang sibuk memberi makan sekawanan burung merpati. Di kedua sisi memorial hall juga terdapat sebuah taman cantik dimana kita dapat sekedar duduk santai atau berjalan sepanjang jalan setapak di taman untuk menikmati pemandangan dari kolam ikan mungil dengan jembatan putih yang klasik, bermain dengan kucing-kucing lucu, mengambil gambar dari sekawanan burung pipit yang terbang kesana kemari di atas hamparan rumput hijau, maupun merasakan kebahagiaan melalui senyum termanis seorang bocah yang sibuk mengejar burung merpati. Obyek wisata ini dapat menawarkan pengetahuan tentang sejarah, arsitektur, dan seni pada waktu yang bersamaan dalam sebuah perjalanan rekreasi yang singkat.

National Theater & National Concert Hall
Sekawanan burung merpati di Freedom Square
Taman di Chiang Kai-Shek Memorial Hall


Rabu, 30 April 2014

Xiangshan: Mengenang Kesan Pertama tentang Taiwan melalui Sudut Pandang yang Berbeda

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya ajukan kepada sesama rekan warga negara asing di Taiwan adalah, “Bagaimana pendapatmu tentang Taiwan?” Beberapa dari mereka sudah tinggal di Taiwan dalam waktu yang cukup lama sehingga dapat menjelaskan beragam hal tentang Taiwan yang memberikan kesan tersendiri bagi mereka. Namun, satu jawaban yang memberikan kesan paling mendalam bagi saya datang dari rekan pelajar yang baru saya kenal sekitar 4 bulan yang lalu. Dia sudah menetap di Taiwan selama lebih dari 3 tahun, namun seperti halnya para warga pendatang maupun wisatawan yang belum lama menginjakkan kaki di pulau ini, dia masih menyebutkan Taipei 101 sebagai ikon Taiwan yang memberikan kesan mendalam dan memicu terjalinnya hubungan jangka panjang antara dia dan pulau Formosa ini. Taipei 101, gedung pencakar langit tertinggi kedua di dunia, pernah menjadi gedung pencakar langit tertinggi di dunia dari tahun 2004 hingga 2010 sebelum akhirnya dikalahkan oleh Burj Khalifa di Dubai, Uni Emirat Arab. Gedung ini terletak di pusat kota Taipei dan merupakan representasi nyata dari modernitas sebuah kota metropolitan yang sibuk, namun lingkungan sekitarnya, seperti halnya sebagian besar kota-kota besar di Taiwan, menawarkan ritme kehidupan yang jauh lebih santai dibandingkan dengan kota metropolitan Asia lainnya. Kawan saya pun jatuh cinta dengan Taiwan pada pandangan pertama.

            
Meskipun demikian, tidak banyak orang menyadari bahwa di pusat kota metropolitan ini, dibalik gedung pencakar langit tertinggi kedua di dunia, sebenarnya terdapat sebuah tempat bernama Xiangshan dimana kita dapat mengenang kesan pertama tentang Taiwan melalui sudut pandang yang berbeda. Kali ini kita tidak akan menengadah ke atas untuk melihat kemegahan sebuah gedung pencakar langit, melainkan melihat ke bawah untuk menikmati pemandangan malam dari Taipei 101 dari ketinggian gunung.

Pemandangan Siang Hari Taipei 101 dari Xiangshan
Pemandangan Malam Hari Taipei 101 dari Xiangshan
Menuju ke Xiangshan semudah menaiki MRT jalur merah (Beitou-Xiangshan) sampai ke stasiun Xiangshan. Di luar stasiun MRT Xiangshan kita akan melihat taman Zhongqiang. Mengikuti rambu petunjuk arah menuju Xiangshan dan berjalan selama kurang lebih 10 menit melalui jalan setapak di taman akan membawa kita langsung ke jalur pendakian Xiangshan. Jalur pendakian Xiangshan terdiri dari anak tangga, jalan batu, dan udara yang bersih sehingga sangat sesuai untuk aktivitas pendakian seluruh keluarga. Waktu yang tepat untuk memulai pendakian adalah pada sore hari. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit untuk mendaki sampai puncak jalur pendakian Xiangshan dan mencari tempat terbaik untuk menikmati pemandangan malam menakjubkan dari Taipei 101.

Jalan setapak taman Zhongqiang
Jalur pendakian Xiangshan
Mendaki menuju puncak Jiuwu untuk petualangan yang lebih menantang

Bagi mereka yang menginginkan petualangan yang lebih menantang, mereka dapat melanjutkan pendakian menuju puncak Jiuwu dengan melewati jalur yang lebih curam. Meskipun pendakian menuju puncak Jiuwu ini bisa dipastikan membutuhkan usaha dan tenaga yang lebih besar, namun jerih payah kita akan terbayar bukan hanya dengan pemandangan malam yang lebih spektakuler, namun juga suasana yang lebih tenang dimana kita bahkan mungkin memiliki cukup keberuntungan sehingga dapat menyaksikan beberapa orang melakukan meditasi di tempat ini. Berbagi pemandangan alam yang romantis bersama pasangan tercinta atau menikmati saat penuh ketenangan dan melakukan meditasi untuk menjernihkan pikiran, pilihannya ada di tangan kita!